Saya mendapat sepotong SMS sore itu,
“Kerja bagiku untuk bertahan hidup, bukan untuk menikmati hidup :(”
SMS ini tak kubalas. Kubiarkan ia tetap bersarang di HP tua saya.
Sore esoknya, saya menerima telepon dari seseorang, seorang calon mahasiswa berprestasi tingkat Universitas. Beliau menanyakan pendapat tentang presentasi yang bagus. (kayaknya ni orang salah alamat, nanya kok sama saya! Hee..)
Karena merima telepon itu saya teringat kisahnya, ia pernah berkisah sewaktu di Galery Kopma tentang kuliah dan kerjanya. Beliau putra jawa kelahiran Sumatera. Namanya Misnadi, dulunya Ketum MGC dan sekarang menjadi mahasiswa berprestasi tingkat Fsayaltas. Jangan salah fahim dulu, kami di KOPMA memang begitu, saling mengenal satu sama lain. Kami seperti keluarga, namun tetap menjaga hijab dan pergaulan kami.
Beliau berasal dari keluarga yang sederhana. Dan keluarganya tidak memberikan uang bulanan kepadanya. Karena jurusan Peternakan, jadi beliau tinggal di Kandang dan ini sangat menghemat pengeluarannya, soalnya gak perlu bayar kosan.
Trus, untuk biaya hidup sehari-hari, beliau ngarit. Ya, ngarit setiap hari dan setiap pukul empat sore (ba’da azar). Kemudian hasil aritan itu (rumput) dibawa ke kandang untuk makan sapi-sapinya. Perbulannya ia mendapat Rp 150.000. Apakah itu cukup untuknya? Ini yang membuatku salut dengan praktek sedekahnya.
Dia salah satu orang yang kunanti untuk datang ke galery. Biasanya saya menghabiskan beberapa snack dan beliau muncul untuk membayarnya. Heee. Bukan apa-apa, soalnya beliau menawarkan sih. Hee. Banyak uang kali ya!!
Untuk uang kuliah, beliau mendapatkan beasiswa dari kampus. Sehingga, uang tersebut dapat menutupi uang kuliah dan tuntutan iuran kuliah. Dan, dia tidak pernah kelihatan mengeluh. Pernah suatu hari saya bertemu dengannya saat dia lagi ngarit. Dia tetap bersemangat dengan pekerjaannya.
Walau gak pernah mengeluh, tapi sesekali sering nyeletuk, “Saya ini gak pantes, kulit saya hitam, dan saya ini tukang arit. Baju saya kalau lagi ngarit itu jelek kayak pengemis atau pemulung.”
Tapi, saya yakin, dirinya penuh dengan gelora semangat dan syukur. Dia memiliki inner beauty yang luar biasa, walau dia sering nimpalin, “bukan pancaran inner beauty, tapi ketutupan sama kegelapan kulit.” wkwkwkw
Balik lagi ke SMS yang diawal. Saya berdiskusi dengan orang yang menge-SMS keesokan harinya dihari yang sama setelah selesai berdiskusi dengan tukang arit tadi.
Dia seorang karyawan swasta dengan gaji yang lumayan. Namun, dalam pikirannya, pekerjaan itu merupakan suatu yang membuatnya tertekan. Bukan bermaksud untuk membandingkan. Temanku yang satu ini, memang bercita menjadi pengusaha, karena dengan menjadi pengusaha dia bisa membantu keluarga dan orang lain.
Namun, obsesinya untuk menjadi pengusaha membuatnya mudah mengeluh dan kuharap ia tidak melupakan syukur. Dan pekerjaan itu tak lebih dari sebuah alat untuk bertahan hidup.
Nah, bagimu, pekerjaanmu itu untuk apa? Bertahan hidup atau Menikmati Hidup?
180511