Lokasi sekitaran masjid dua lantai itu masih senggang. Bahkan pintu masuk lokasi jama’ah perempuan pun masih terkunci rapat. Aku mengitari masjid, menuju pintu masuk jama’ah laki-laki. Tulisan “Alas Kaki Harap diLepas” menghiasi anak tangga pertama. Maka kulepas sepatu bututku dan kutenteng menaiki anak tangga.
Kuucapkan salam saat memasuki masjid. Sepi. Tak ada seorangpun di dalamnya. Kuletakkan alas kakiku di tangga jema’ah perempuan. Aku telah telat lima menit dari jadwal berkumpul. Hari ini adalah hari istimewa yang kutunggu setiap minggunya. Hari dimana aku dan beberapa temanku berkumpul membentuk lingkaran saling memadu kasih bersilaturahmi dan mentransfer ilmu saling menasehati.
Aku duduk di atas sejadah, kubuka Al-Qur’an pertamaku dan kulanjutkan surah Romantis itu, An-Nisa. Mendekati ujung tilawahku satu persatu saudari seimanku berdatangan dengan salam, sapa dan senyum khas mereka. Ah, betapa aku bersyukur sudah berkunjung ke taman surga ini.
Setelah membuka halaqoh, tilawah, dan mengisi laporan, Murobiahku yang kupanggil Ustazah membuka dengan pembukaan yang mengikat dan mengalirlah satu kisah yang membuatku diam bergeming dan MALU. Kisah tentang sahabat tarbiyah yang masih SMA.
**
Mushola kampus itu meneduhkan beberapa penuntut ilmu yang membentuk lingkaran. Tampak seorang wanita berjilbab mengangkat tangannya, menunjuk, menaikkan suara dan mengubah intonasinya sewaktu memberikan beberapa tausiyah kepada pasukan putih abu-abu di depannya. Sebagian ada yang berkerudung dan sebagian ada yang masih tampak rambutnya.
Mata-mata remaja itu membesar dan terkesima dengan ilmu yang baru saja keluar dari mulut yang mereka sebut Murobiah. Pengetahuan yang tak mereka dapatkan di bangku sekolah mereka, pemahaman yang tak mereka dapatkan dari lisan guru mereka. Rasanya mereka semuanya tak mau beranjak dari taman surga itu. Kekuatan dahsyat ukhuwah telah menyatukan dan mengikat hati mereka, sehingga magnet itu telah menempel di tubuh, tak sanggup mengangkatnya untuk pergi.
Memasuki bulan ke-enam, beberapa remaja putih abu-abu yang masih terbuka auratnya telah menutup auratnya. Inilah proses tarbiyah yang mereka lakukan. Ya, jilbab itu juga dipakai oleh salah satu anggota mereka yang pendiam. Diantara teman-temannya yang lain, sahabat yang satu ini lebih banyak diam. Memperhatikan tiap kata yang keluar dari lisan Murobiahnya dan berusaha untuk melaksanakannya. Namun, ia tetap aktif dalam kegiatan di Rohisnya.
Suatu hari dipertemuan bulan ke enam itu, sahabat yang pendiam tadi bertanya, ya inilah suara yang dirindukan itu. Suara yang dinanti. Suara emas yang sangat mahal dikeluarkan dan mengundang pasukan putih abu-abu yang lain antusias untuk mendengar pertanyaannya yang pertama itu, “Ustazah, apa balasan bagi orang yang sabar menahan sakitnya?”
Sang Murobiah yang baik hati itu menjawab singkat, “SURGA.”
Pertanyaan singkat dan bermakna dalam. Teman-temannya tersenyum. Namun, senyum yang paling indah ialah senyum sang pe-nanya. Senyum yang penuh makna.
Tak lama dari pertemuan itu, sang akhwat SMA ini jatuh sakit. Sempat diopname di sebuah rumah sakit di kota yang sama. Zat karsigonetiknya tak dapat berdamai dengan tubuh kecilnya. Menyerang tiap sel jinak dan mulai berkuasa di satu titik, yaitu perut. Zat ini mengganas dan jadilah ia disebut KANKER.
Remaja putih abu-abu silih berganti datang menjenguk, termasuk sang Murobiah yang dicintainya. Murobiah yang telah mengabarkan berita bahagia dari Allah bagi orang yang bersabar.
Semakin parah penyakitnya menyebabkan nanah dan bau yang tak sedap keluar dari perutnya. Ia ingin dirawat di rumah. Orang tua mana yang tak iba. Namun, dana berobat tak bisa ditutupi, karena orang tua yang tak mampu dan tinggal di desa. Sang akhwat remaja itu tetap ingin dekat dengan orang tuanya yang telah melahirkan dan membesarkannya dengan cinta di desa kelahirannya.
Akhwat sejati akhwat solehah. Perhiasan terbaik dunia. Ia tetap mendirikan sholat walau dalam kondisi berbaring. Ia tetap dhuha dan tahajud tanpa mau tayamun. Ya, dia tetap ingin berwudhu dengan air, walaupun sebenarnya berat melakukannya.
Sang kecil begitu berbanding terbalik dengan sang hati. Hatinya begitu tabah dan kuat. Tak pernah keluar kata mengeluh dari lisannya. Hanya dzikir yang terucap. Hingga sang ibu memberanikan bertanya, “Nak, apakah sakit?”
“Ibu, jika harus mengatakan sakit, maka tak bisa kugambarkan rasanya. Tapi, aku mencoba untuk menikmatinya. Sabar saat sakit balasannya SURGA”
Ibu yang sungguh beruntung memiliki anak solehah ini tak menyangka dengan jawaban anaknya.
Sepertiga malam, jam yang paling tepat untuk berkomunikasi langsung kepada Sang PENCIPTA, yang telah memberi kemudahan setelah kesulitan. Sang akhwat remaja melihat ayah dan ibunya tidur di sisi kanan dan kirinya. Sudah lama ia tak menempati kamarnya, ia lebih memilih tidur di ruang tengah, lebih lapang tampaknya.
“Ayah, ibu, aku mau wudhu untuk sholat tahajud. Ibu sama ayah tidur di dalam saja ya.” Kata yang bijaksana dan lemah namun mengandung kekuatan kesolehaan itu menggerakkan hati ayah dan ibunya, sehingga mereka berdua mau kembali tidur di kamar mereka.
Ayam bersahutan membangunkan penjuru desa ketika itu. Satu persatu lampu dihidupkan tanda mahkluk bernama manusia telah terjada dari mimpinya.
Akhwat remaja dengan mukenanya masih melipat tangannya. Tampaknya ia sedang membaca Al-Fatihah. Namun, raganya begitu tenang. Matanya terkunci rapat. Ternyata, Israil telah menjemputnya malam tadi, saat ia sedang sholat Tahajud. Khusnul Khotimah.
Tak ada yang tahu kapan tepatnya gadis remaja ini menghembuskan nafas terakhirnya. Yang orang tahu, bau yang ada di tubuhnya hilang tak berbekas. Perut yang sebelumnya menjijikkan itu, malah tak membuat orang lain jijik. Subhanallah, Allah telah mengganti bau nanah itu dengan kesturi surga karena kesabaran.
Dihari wafatnya, ramai orang yang melayat. Anehnya, kedua orang tuanya banyak yang tak mengenal pelayat anaknya. Silih berganti orang datang, termasuk sang murobiah yang tak pernah menyangka bahwa pertanyaan yang ditanyakan binaan pendiamnya ialah pertanyaan pertama dan terakhir. Sungguh ia sangat kagum dengan seorang gadis remaja penderita kanker yang telah mampu mengamalkan ilmu yang di dapatnya tanpa banyak bicara dan membantah. Bahkan sang murobiahpun berpikiran bahwa mungkin dirinya tak sanggup setegar dan sesabar sang akhwat remaja.
Enam bulan tarbiyah dan dengan keaktifan yang biasa, rasanya tak mungkin banyak yang melayat. Bahkan yang sudah 2 tahun pun, belum tentu. Ya, jika kita memikirkannya dengan logika, maka memang TIDAK AKAN MUNGKIN. Namun, ketahuilah bahwa ada malaikat-malaikat Allah yang meramaikannya dan mendo’akannya. Langit sedang berkabung, telah meninggal satu penduduk bumi yang mencintai Allah. Namun, langit juga sedang ramai, menyambut datangnya ruh perhiasan dunia yang akan menjadi perhiasan akhirat. RUH si AKHWAT REMAJA.
**
Aku mengenggam tanganku rapat. Setetes air keluar dari mataku, terpana hatiku menangkap kata perkata dari lisan Ustazahku. Tubuhku merinding, haru luar biasa, malu aku dibuatnya. Kulihat satu persatu personil dakwah di depanku. Jundiah-Jundiah dengan 5 Universitas yang berbeda ini juga sama sepertiku, menangis. Haru dengan kisah sang akhwat remaja, sahabat kami semua.
Murobiahku memberikan selingan materi mengenai manajemen niat. Betapa tidak, 6 bulan saja seorang anak bisa sesolehah itu. Apa lagi kalau bukan karena niat yang lurus dan benar. “Ukhti, luruskan niat. Luruskan niat! Istighfar!”
Astaghfirullah al adzim.
Lantas bagaimana dengan seorang yang sudah lima tahun tarbiyah??? Ya Robb, betapa malunya aku yang hina dina ini. Aku hina dan KAU tutup aibku. Ya Robb, ampuni aku.
Yah, pertemuan pagi yang berbuah hidayah dari ALLAH ini, telah meringankan langkah hati dan kakiku untuk mengikuti latihan manajemen dakwah kampus yang sempat banyak alasan yang membuatku tak mau mengikutinya.
KEMATIAN. Tak ada yang tahu kapan. Jika waktu itu telah datang. AKU MOHON. MAAFKAN KESALAHANKU pada ANTUM wa ANTUNNA. Do'akan pula, agar aku bisa bertetangga dengan indolaku, KHADIJAH ra. wa MUHAMMAD saw
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas silaturahminya.
Tolong tinggalkan jejak Anda. Salam Ukhuwah. ^.~