Bola orange raksasa masih menggantung di langit, bersembunyi di balik awan. Bagaimanapun usahanya menyembunyikan dirinya, cahaya masih bisa keluar memantulkan ke permukaan laut tanpa gelombang. Satu jam lagi bola orange ini akan benar-benar menyembunyikan dirinya melawati batas lautan.
Di atas langit timur nyaris ke tengah. Bola raksasa yang tak menyilaukan, putih dan nyaris bulat sempurna telah muncul walaupun bola orange belum tenggelam. Hari ini, 12 Rajab, bumi dapat melihat dua bola raksasa sekaligus. Awan-awan berkumpul putih bersih bak kapas, langit biru indah dan menyejukkan.
Di bawah pemandangan besar ini, seorang akhwat berjilbab putih memacu motornya pelan, tak lebih dari 40km/jam. Jalan sepanjang pantai ia susuri tanpa melihat ke arah laut. Air telah menggenang di matanya sejak awal do’a perjalanannya. Sesekali ia gunakan jarinya agar bulir-bulir itu tidak jatuh.
Beberapa menit yang lalu, akhwat berjilbab putih mengikat janji dengan seorang saudari untuk menemani kesedihannya sore ini. Bukan. Bukan karena dia ingin berbagi kesedihan, melainkan ia butuh teman untuk menenggelamkan kepalanya dalam sebuah pelukan.
Sepi. Masjid yang biasanya ramai dengan tilawah anak SMP dan orang-orang tarbiyah sepi tanpa penghuni. Sang akhwat memarkir teman perjalanannya dan menuju tangga masjid sebelah kiri. Ia rehat sejenak untuk menyandarkan bahunya di tiang masjid yang kokoh, kemudian mulai membaca Al-Ma’tsuratnya.
“Assalamu’alaykum.” Satu suara dengan sapaan yang lembut mendiamkannya, ia berbalik, dilihatnya seorang saudari yang ditunggunya tersenyum dengan ikhlas.
“Wa’alaykumusalam.” Akhwat berjilbab putih mencoba untuk tersenyum ikhlas. Seikhlas saudarinya. Namun, susah. Sulit sekali rasanya untuk mengangkat kedua ujung bibirnya.
Saudari yang melindungi auratnya dengan gamis ini langsung memeluk si jilbab putih. “Ana tahu anti ada masalah.” Katanya berbisik. Sang akhwat berjilbab putih tak bisa menyembunyikan tangisnya. Terisaklah ia dengan air mata yang keluar bergantian. Lama. Sang saudari membiarkan temannya dengan isakkannya tanpa mengubah posisinya. Sang akhwat telah bersembunyi di balik pelukan saudarinya. Kedamaian dalam hatinya menyeruak. Inilah yang ia nanti selama beberapa hari ini.
“Afwan ukh. Jilbab anti kotor.” Akwat yang menangis ingin melepas pelukan saudarinya tadi. Namun, pelukannya terlalu erat untuk bisa dilepaskan. Sangat erat.
“Menangislah, ukhti.” Tangis sang akhwat bertambah kencang dan banyak. Terisak dan semakin tenggelam. Pelukan saudarinya mulai menenangkan tangisnya. Tenang dan nyaman.
“Ana butuh tisu.” Akhwat berjilbab putih mulai bersuara, walau tak begitu jelas terdengar, saudarinya mengerti apa yang diinginkan oleh saudari lamanya ini.
“Ana gak punya cinta. Eit, tapi ana punya ini.” Saudari bergamis itu mengeluarkan sepasang sarung tangan. Sarung tangan pemberian saudarinya yang lain. “Pakai aja. Anggap saja si Nta ada di sini.”
“Ukh, tar kotor.”
“Nanti biar ana cuci. Anti kan saudara ana.”
Tangan bergetar itu mengambil sarung tangan krem saudarinya, dilapnya air yang keluar dari mata dan hidungnya. Jorok memang. Tapi, inilah ukhuwah itu.
“Ukh...” si Akhwat mulai tenang.
“Ya.”
“Birul walidain.” Sang akhwat kembali terisak. Teringat kembali wajah orang yang telah membesarkannya.
Saudarinya mengerti. Sangat mengerti. Ia kenal saudarinya ini lama. Bahkan sebelum menjadi akhwat pun mereka sudah bersama. Ayah sang akhwat ayah saudarinya juga. Ibu saudari, ibu sang akhwat juga.
“Ukh, beginilah kalau Allah ingin menaikkan derajat hamba-Nya.”
Sang akhwat menggeleng. “Tapi, dunia ini begitu sempit, tanpa ridho ukhti. Ana takut Allah tak ridho dengan ana. Alangkah malangnya ana.”
“Allah memberi ujian, karena Allah mencintai anti. Apakah kamu mengaku beriman? Padahal kamu belum di uji? Allah menyindir kita di ayat ini. Jika Allah tak memberi masalah di lingkungan dan kuliah, mungkin Allah ingin menguji melalui keluarga. Ukh, ridho Allah itu luas. Sangat luas.”
“Ukhti, hasil dari ujian ini hanya dua ukh. Taqwa dan Iman.”
Sang akhwat ingat sesuatu, ia malu telah menangis. “Bertaqwalah kamu dengan sebenar-benarnya taqwa. Dan jangan kamu mati, kecuali dalam keadaan muslim.” Ayat Ali-Imron 102 ini menangkannya kembali. Ia mulai sadar dan mengkondisikan dirinya.
Dua matanya membesar, namun tak sebesar dua bola raksasa yang menggantung di langit.
Dalam dekapan ukhuwah, kita mengambil cinta dari langit dan menebarnya di bumi. Ukhti, aku ingin menebar dakwah di bumi, tapi sayap ku Cuma satu. Aku ingin engkau menjadi sayapku yang satunya, sebelum aku menemukan sayapku yang sebenarnya untuk menuju langit.
Dalam dekapan ukhuwah, terima kasih atas pelukan luar biasa itu. Mari kita terbang dengan sayap kita yang saling bertukar. Sebelum akhirnya sayap langit kita menjumpai kita dalam singgasana samara. Karena pangeran surga dan ksatria langit tengah mempersiapkan sayapnya untuk kita.
Dalam dekapan ukhuwah. Aku ingin menjadi tetanggamu di Jannah, karena kita telah menyatukan sayap untuk tetap menjaga Iffah di bawah naungan-Nya.
Dalam dekapan ukhuwah. Biarlah langit-langit itu ramai mendo’akan kita karena kita telah memadu cinta, di dalam dan di bawah bola-bola raksasa. Dalam dekapan ukhuwah. Aku mencintaimu karena Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas silaturahminya.
Tolong tinggalkan jejak Anda. Salam Ukhuwah. ^.~