“Ukhti, jangan lakukan itu lagi!” Kak Randa menatapku tajam.
Aku tak pernah melihat Kak Randa, akhwat yang lembut kata-katanya, setegas ini
padaku. Aku menunduk. Kutarik napasku dan kucoba untuk merangkai kata demi
kata, yang sebenarnya hanya sebuah alasan berbentuk pembenaran.
“Kak Randa…” Kataku pelan. “Aku sudah menganggap Bang Saris
sebagai abangku sendiri. Dan aku yakin Bang Saris juga menganggapku sebagai
adiknya. Selama ini tidak ada yang aneh dari perangainya terhadapku.”
Kak Randa menyandarkan punggungnya ke kursi, berkali-kali
dia istighfar. Sepertinya dia benar-benar marah padaku. Ah, rasanya menyesal
aku menceritakan kedekatanku dengan Bang Saris. Seorang ikhwan, seniorku yang
saat ini telah bekerja di perusahaan minyak di wilayah Kalimantan. Aku, seorang
aktivis dakwah kampus dengan amanah di sana-sini, saat ini sedang menyelesaikan
amanah skripsi di kampus memang sudah sejak lama dekat dengan Bang Saris. Bang Saris
dulunya adalah pembimbingku ketika OSPEK, orangnya ramah, baik hati dan supel. Ketika
setiap orang meminta bantuan padanya, dia selalu ada. Aku tahu Bang Saris baik
pada setiap orang, bahkan ketika dia sudah lulus dan bekerja, setiap aku
memasukkan proposal pendanaan untuk dakwah, setidaknya dia akan mengirim
setengah juta.
Kedekatanku dan Bang Saris sudah seperti adik dan kakak,
kadang ketika aku meminjam uang padanya, ia selalu mentransfer dan
ujung-ujungnya, uang itu diberikan padaku alias tak perlu dikembalikan. Lalu
apanya yang salah? Kenapa Kak Randa begitu emosi?
“Dinda solihah…” Kak Randa menatapku lembut, emosinya yang
tadi sudah mulai berkurang. “Begini, apa kau suka padanya?”
Aku kaget mendapatkan pertanyaan ini dari Kak Randa dan
dengan tegas kujawab, “TIDAK!”
“Jika suatu saat, entah besok, lusa atau tahun depan dia
datang. Bukan sebagai kakak, tapi sebagai seorang ikhwan yang sedang mencari
seorang pendamping hidup dan orang yang ia temui adalah kamu. Apa kamu mau
menerimanya?”
Aaaah… pertanyaan Kak Randa kian ngacau!! Aku kesal
mendapatkan jawaban ini. Jujur saja, perasaanku pada Bang Saris tidak lebih
dari seorang adik pada kakaknya.
“Kak…” Aku mencoba menenangkan diriku. “Tak mungkin Bang
Saris akan datang untuk melamarku. Dia telah menganggap aku ini sebagai
adiknya.”
“Tidak ada yang bisa menghalangi kalian untuk menikah. Kau
dan Saris bukan mahrom!” Nada bicaraku mulai meninggi. “Dinda! Siapalah kamu
sehingga kamu layak dibantu dan selalu dikirimi uang oleh dia. Kamu siapa?
Ibunya? Adik kandungnya? Kakak kandungnya? Atau sepupunya? Neneknya? Bukan!
Kamu bukan siapa-siapa. Kamu hanyalah seorang akhwat yang ‘kebetulan’ dekat
dengannya ketika di kampus dan akhirnya semakin dekat ketika dia keluar dari
kampus. Dan apa maksudnya?!”
Aku tercekat. Sungguh… aku tak berpikir sampai sejauh itu.
Kak Rinda benar. Aku bukan siapa-siapa. Aku bahkan tak pernah berbuat apapun
untuk Bang Saris. Aku hanya akhwat yang kalau lagi butuh uang suka meminjam
dengan Bang Saris karena ku tahu Bang Saris punya uang dan untuk meminjam ke
senior-senior akhwatku apalagi Kak Randa adalah hal yang tak mungkin. Aku tahu
Kak Randa pun seringkali kesulitan untuk membiayai adiknya.
“Dinda… jika pun ada wanita yang layak menerima uang
darinya, dialah Ibu, dialah saudara perempuannya, dialah nenek atau kerabat
wanitanya. Bukan adik yang sengaja-sengaja disebut adik angkat, padahal kau
sama sekali tak mengenal keluarganya. Bisa jadi ia dalam kesulitan, bisa jadi
ibunya jauh lebih butuh dibandingkan kamu, ya bisa jadi.”
“Syam…” Kak Randa memanggilku lembut. “Apa bedanya seorang
akhwat yang tertarbiyah, ngaji tiap minggunya, dan tilawah setiap waktunya
dengan wanita yang tak mengerti agamanya, lalu mereka sama-sama meminta-minta
pada orang yang bukan mahromnya, bahkan bukan suaminya?” Kak Randa mendekatiku,
aku dan Kak Randa duduk tak berjarak, dia mengenggam tanganku yang gemetaran
sejak mendengar semua ucapannya.
“Astahgfirullah al-adzim, kak….” Aku mulai berkaca-kaca. “Apa
yang harus aku lakukan?”
Aku mendengar helaan napas Kak Randa, tangan kanannya yang
tadi mengenggam tanganku sekarang berpindah ke bahuku. “Syam… Dindaku yang
solihah.” Dia tersenyum manis. “Bertaubatlah dan berserah diri pada-Nya.”
“Jika kau punya uang, kembalikan uang yang selama ini dia
berikan cuma-cuma. Jika tidak, sebutkanlah nominalnya, nanti akan kuusahakan
untuk menggantinya.”
“Kak Randa…” Panggilku pelan.
“Ya…”
Aku memeluk Kak Randa erat, “Ya Allah, kak… banyaknya
dosaku. Aku minta doanya agar Allah mau mengampuni dosaku.”
“Aamiin… Dinda Syam… dari sekarang, kurangilah hubunganmu
dengannya. Sibukanlah dirimu di skripsi dan dakwah. Jika kau butuh sesuatu, kau
punya banyak saudara akhwat. Mereka siap membantumu. Libatkan Allah… libatkan
Allah dalam setiap langkahmu. Lupakan Saris. Lupakanlah dia.”
“Iya, kak” Aku menyeka air mataku.
“Tapi, kalau seandainya dia datang ya mesti siap-siap!”
Hahaha Kak Randa tertawa.
“Yaaaaaaa kakakkkkkk… jangan sampai kaaaak.. Aku gak suka
sama Bang Saris. Wallahi!” Aku mengangkat tanganku.
“Memang yang menentukan jodoh seseorang kamu? Ahihihi…” Kak
Randa kembali terkekeh.
“Sudah… sudah… aku bener-bener taubat kak. Insya Allah aku
akan menghubungi Bang Saris kalo aku mau mengembalikan uangnya beliau dan
meminta tolong padanya agar tidak menghubungiku lagi.”
“Sip… itu baru Syam adindaku nan solehah.”
Aku dan Kak Randa saling berpelukan. Ah… Kak Randa, andai
kau tahu bahwa aku mengharapkan Bang Saris benar-benar datang, tapi bukan
untukku, melainkan untukmu.
--
Voe Nahl
Belajar dari Khadijah