Seorang binaanku membisikkan suaranya ke telingaku, meminta agar aku meluangkan waktu barang sejenak untuk menemaninya pasca liqoat. Aku menangkap wajahnya dalam kepucatan. Aku mulai mengerti, ini pasti ada hubungannya dengan materi yang kusampaikan hari ini. Mengenai, Tauhid. Dan ujung-ujung menyerembet ke hati yang menduakan Allah.
Aku membaca air mukanya, kesedihan dan penyesalan luar biasa terpancar dari wajahnya. “Mbak, ana pacaran.” Katanya menunduk.
Aku terdiam. Kupandangi sosok yang badannya lebih besar dari badanku itu dengan pandangan sayang. Aku mencoba menyelami hatinya. Walau sebenarnya hatiku menangis dalam. Aku GAGAL. Gagal membina satu bangsa.
“Sudah lama?” Tanyaku.
Dia mengangguk, “Dua bulan, mbak.”
Aku mengatur nafasku. Ku raba hatiku, ada sedikit luka. Aku benar-benar terhenyak. Dia sudah tarbiyah selama 6 bulan lebih. Dan selama ini aku kemana saja?
“Mbak, saat itu ana merasa sangat galau. Mbak tahu sendiri, kan. Saat itu papah sakit. Ana butuh seseorang yang memotivasi ana, mbak. Ana baru merasakan penyesalan itu sewaktu papah meninggal mbak. Hiks. Ana merasa sudah jauh dari Allah. Ana takut ridho Allah itu pergi. Mbak, ana bingung bagaimana caranya putus dengan dia.”
“Memangnya teman-teman liqoan gak bisa memotivasi?”
“Waktu itu kami lagi ada konflik, mbak.” Aku menetralkan gejolak rasaku. Sudah hampir 2 bulan, aku tidak fokus membina mereka. Aku sibuk di karya tulisku, belum lagi saat bisniss planku dilombakan ke Depok, aku meninggalkan mereka tanpa mencari pengganti. Ini tentu saja tak lepas dari kesalahanku.
“Adek benar-benar mau putus sama dia?” Binaanku mengangguk.
“Kenapa?” Tanyaku kembali.
“Karena, ana merasakan pacaran itu gak enak, Mbak. Lagi juga, ana mau membahagiakan mamah dulu, mbak. Mamah sangat ingin ana nanti jadi bidan, bisa kerja.”
“Kok kepikiran mau pacaran?”
“Hem... ana mau coba-coba mbak. Ana mau cari pengalaman. Ana iseng ajah.”
“Astaghfirullah. Kenapa bisa gitu? Memang nya udah sejauh mana?”
“Ana pernah boncengan.”
Hiks.... kini hatiku benar-benar menangis.
“Sekarang putuskan dia, dan bertobatlah kepada Allah. Allah itu pencemburu, Dinda. Kalau orang ammah, mbak bisa maklum. Tapi, kalau dengan adek yang sudah tahu ilmunya dan sudah lama di tarbiyah, mbak gak bisa maklum. Ini semua harus di akhiri. Bagaimana kalau Allah mencabut ridho-Nya?” Aku melanjutkan, “Bukankah sering mbak bilang, bahwa pemberhentian terakhir kita adalah Surga atau Neraka. Hanya 2 itulah pilihannya. Masuk surga bukan karena banyaknya pahala yang sudah kita lakukan, tapi karena Ridho Allah. Dan amalan itu akan bernilai pahala saat Allah sudah Ridho. Dan bagaimana Allah mau Ridho, kalau Dinda melakukan apa yang tidak Allah Ridhoi seperti pacaran?!” Nadaku yang mulai meninggi kupelankan dan kupertegas.
“Afwan, mbak harap Dinda mau mengerti.” Aku memelankan suaraku.
“Ya, mbak. Ana ngerti. Tapi gimana caranya putus dengan dia? Sedangkan sebentar lagi dia mau ujian, mbak. Ana pernah berniat untuk memutuskannya kalau dia udah ujian. Biar dia gak kepikiran, mbak.”
“Mang pacaran mau ngapain sich? Udah mau nikah? Mang dinda udah siap nikah?”
Binaanku menggeleng, “Belum, mbak. Ana nyesal, mbak. Jangan-jangan semua cobaan yang Allah beri ini karena Allah tidak ridho lagi?”
“Dinda, tatkala kita mulai mendua, maka Allah masih mengerti.
Tatkala kita mulai bermain hati, maka Allah masih mengerti.
Tatkala kita mulai terjerumus, maka Allah masih mengerti.
Namun, tatkala Allah meninggalkanmu, maka saatnya kau mengerti.”
Aku tersenyum dan mengenggam tangannya. Tangan putihnya basah.
“Masya Allah, kok basah? Mana dingin lagi!” Aku mengenggam tangannya kian erat.
“Ana paru-paru basah mbak.”
“Masya Allah!” Aku kaget.
“Iya, mbak. Waktu ana masih kecil, mamah ana sering merokok di depan ana. Trus mamah sering menghidupkan kipas angin juga.”
“Gimana kabar mamah, dek?”
“Bulan depan, mamah operasi ginjal, mbak?”
“Operasi? Innalillah.”
“Iya mbak. Mamah mengidap batu ginjal. Makanya mamah sering bolak-balik Bengkulu- Jakarta. Sekalian mama check up.”
Ya Allah, anak seusia dia telah mendapat banyak ujian bertubi-tubi. Padahal tiga bulan yang lalu, dia pernah curhat padaku, kalau sepupu dekatnya yang seumuran denganku mengidap kanker payudara stadium empat dan adiknya ketahuan mencuri handphone teman-temannya.
Ayahnya meninggal sebulan yang lalu, dan sekarang ibunya harus di operasi.
“hiks... hiks....” Air matanya jatuh.
“Mbak. Ana tuh sedih, mbak. Dulunya papah ana tuh sering selingkuh. Pacarnya semuanya seumuran ana, mbak. 15 tahun, mbak. Hiks. Dan sekarang mamah banyak hutang. Hutang mamah lebih dari 100 juta dan itu mesti dilunasi. Mamah juga nanti kemungkinan besar pindah ke Jakarta. Jadi ana dan abang harus ikut, mbak.”
Aku terdiam. Tak kusangka dia memiliki banyak cobaan. Dan aku pun mempertanyakan diriku, jika aku menjadi dia, apakah mungkin aku sekuat dia.
Air matanya kian deras. “Dinda penatkan?” Kutepuk pundaknya. Dia mengangguk. “Dinda lelah kan dengan semua kondisi yang ada?” Aku kembali menepuk pundaknya. “Di pundak ini ada begitu banyak beban dan amanah. Salah satunya amanah ibu yang ingin dinda menjadi bidan dan berprestasi, kan?” Dia mengangguk. “Dinda lelah dengan semua ini?”
“Hiks. Mbak. Ana lelah mbak. Ana capek. Ana penat!”
Aku sangat mengerti. Kubiarkan dia menumpahkan air matanya kepundakku.
“Mbak beri selamat untuk akhwat tangguh nan kuat.” Aku mengangkat dan mengenggam erat bahunya.
“Maksud mbak?”
“Ya, Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi kesanggupan umatnya. Itu artinya, Dinda sanggup memikul semuanya, makanya Allah memberikan cobaan ini. Dan kembalikan semua ini kepada Allah. Minta pada Allah agar memberikan kesabaran kepada Dinda.”
“Jadi, mbak pikir ana sanggup?”
“Ya, seandainya temen2 liqoan Dinda yang seperti ini, mungkin mereka gak sanggup. Nah, Allah memilih adek, biar nantinya bisa lebih kuat. Allah merencanakan sesuatu yang indah untuk dinda.”
“Mbak. Mbak merasa gagal gak?”
“Maksudnya?”
“Waktu mbak tahu ana pacaran. Mbak merasa gagal gak membina ana?”
Aku mengangguk, “Ya. Sangat. Tapi, ini semua juga gak lepas dari kesalahan mbak yang lalai. Sudah, gak usah dipikirin.” Aku sangat tidak menyangka dia mengerti apa yang kurasa.
“Ana minta maaf ya mbak. Ana merasa bersalah sama mbak.”
“Sudahlah... Mari kita sama-sama bertaubat. Agar Allah mengampuni dan merahmati kita.”
Ahk, dunia kadang memberi warna yang berbeda. Dulu, empat tahun yang lalu. Aku bersama sahabat-sahabatku dan murobbiah tercinta menggelar tarbiyah di masjid ZU, betapa sabarnya beliau menghadapi kami, Mutarobbinya dengan berbagai masalah. Sekarang aku yang menjadi murobbiahnya. Waktu terus berputar, mewarnai kanvas-kanvas kehidupan.
Seketika, aku ingat adik laki-laki dan kakak perempuanku. Aku sudah tahu kalau kakakku pacaran, bahkan aku mengenal pacarnya. Dan untuk adikku, aku menjaganya, mengingatinya, dan senantiasa mewanti-wantinya. Aku ingin dia menjadi ikhwan, minimal hanif, gak merokok, gak pacaran dan mendirikan sholat. Namun, kabar dari teman dan Fbnya membuatku terdiam, dia ternyata berpacaran.
Sebaris SMS menyapa siang itu, “Nyidang orang pacaran, adik dewe pacaran. Sedih.”
Ya, begitu juga dengan kondisiku. Aku memang tak pernah menyidang seseorang yang pacaran. Tapi, aku sangat sering mengingatkan atau menyindir seseorang. Namun, heh, ya Robb, dalam tulisan ini aku berharap untuk kesekian kalinya, “Mas, kuingin kau menjadi ikhwan.”
19032011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas silaturahminya.
Tolong tinggalkan jejak Anda. Salam Ukhuwah. ^.~